Kasus Chelsea-Kakuta
Kakuta dan Pogba (detiksport)
Kasus dilarangnya Chelsea membeli pemain baru di dua jendela transfer mendatang menguak sebuah fenomena, yakni kesenangan klub-klub besar berburu pemain-pemain belia.
Sudah bukan rahasia lagi kalau banyak klub besar, terutama dari Inggris, yang gemar 'keluar masuk kampung' untuk mencari remaja-remaja berbakat di Marseille, Paris dan Roma, sampai Yaounde dan Abidjan.
Remaja-remaja berusia 15-17 tahun itu bagai 'diijon'. Mereka akan ditawari kontrak dengan nilai yang menggiurkan, lantas dipupuk di akademi klub yang bersangkutan sebelum akhirnya diorbitkan di tim senior.
Praktik ini meluas mengingat menggaet pemain belia berbakat jelas lebih murah ketimbang membeli pemain yang sudah jadi. Di masa depan, pemain seperti itu bisa jadi investasi karena suatu saat dapat dijual dengan nilai tinggi bila telah matang.
Sejumlah pemain berbakat bisa ditunjuk sebagai contoh. Alexandre Song dan Johan Djourou di Arsenal, Franco Di Santo di Chelsea, Federico Macheda di Manchester United atau David N'Gog di Liverpool adalah sebagian dari mereka.
Sayangnya, sering kali praktik perburuan pemain-pemain remaja itu dilakukan dengan tidak memperhatikan etika, bahkan aturan hukum. Kasus Chelsea yang menyuruh Gael Kakuta memutus kontraknya di Lens barangkali bukan yang pertama terjadi di Eropa.
Kini Chelsea kena batunya. Dua jendela transfer di Januari dan Juli 2010 harus mereka lewatkan tanpa bisa belanja pemain baru meski kemudian The Blues sedang mengupayakan banding ke FIFA.
Chelsea bukan pelaku tunggal. Praktik serupa juga disinyalir dilakukan oleh Manchester United yang memakai cara yang mirip dalam mendekati pemain muda Le Havre bernama Paul Pogba.
Hal itulah yang mendatangkan keprihatinan sekaligus kecaman dari Presiden Federasi Sepakbola Prancis (FFF) Jean-Pierre Escalettes. Prancis memang jadi lahan subur untuk menyemai pemain muda berbakat.
"Kami telah mendiskusikan kasus Kakuta dan transfer-transfer bocah-bocah itu. Itu merusak sepakbola," ujar Escalettes sebagaimana dikutip Reuters pasca pemberian sanksi pada Chelsea.
Prancis adalah pihak yang kerap menjadi korban. Selain punya ratusan atau bahkan ribuan bocah berbakat, Prancis juga sering menjadi akademi bagi para pemain muda dari Afrika mengingat status mereka sebagai sebuah negara yang terbuka terhadap imigran.
"Kami telah memperingatkan FIFA dan Federasi Sepakbola yang relevan (dalam hal ini adalah Inggris--red) untuk menangani perilaku keliru seperti itu," kata Escalettes.
"Ini seperti Qatar yang mengirim Direktur Olahraganya ke Paris untuk merekrut para pemain muda itu. Kami sangat senang melihat perilaku salah seperti itu diberikan sanksi," jelas Escalettes.
Kasus yang menimpa Chelsea bisa jadi pelajaran untuk para klub Eropa ke depan. Memburu pemain muda berbakat jelas tidak salah, tetapi ketaatan terhadap aturan dan etika jelas harus ditegakkan agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Sumber : detiksport
Kakuta dan Pogba (detiksport)
Kasus dilarangnya Chelsea membeli pemain baru di dua jendela transfer mendatang menguak sebuah fenomena, yakni kesenangan klub-klub besar berburu pemain-pemain belia.
Sudah bukan rahasia lagi kalau banyak klub besar, terutama dari Inggris, yang gemar 'keluar masuk kampung' untuk mencari remaja-remaja berbakat di Marseille, Paris dan Roma, sampai Yaounde dan Abidjan.
Remaja-remaja berusia 15-17 tahun itu bagai 'diijon'. Mereka akan ditawari kontrak dengan nilai yang menggiurkan, lantas dipupuk di akademi klub yang bersangkutan sebelum akhirnya diorbitkan di tim senior.
Praktik ini meluas mengingat menggaet pemain belia berbakat jelas lebih murah ketimbang membeli pemain yang sudah jadi. Di masa depan, pemain seperti itu bisa jadi investasi karena suatu saat dapat dijual dengan nilai tinggi bila telah matang.
Sejumlah pemain berbakat bisa ditunjuk sebagai contoh. Alexandre Song dan Johan Djourou di Arsenal, Franco Di Santo di Chelsea, Federico Macheda di Manchester United atau David N'Gog di Liverpool adalah sebagian dari mereka.
Sayangnya, sering kali praktik perburuan pemain-pemain remaja itu dilakukan dengan tidak memperhatikan etika, bahkan aturan hukum. Kasus Chelsea yang menyuruh Gael Kakuta memutus kontraknya di Lens barangkali bukan yang pertama terjadi di Eropa.
Kini Chelsea kena batunya. Dua jendela transfer di Januari dan Juli 2010 harus mereka lewatkan tanpa bisa belanja pemain baru meski kemudian The Blues sedang mengupayakan banding ke FIFA.
Chelsea bukan pelaku tunggal. Praktik serupa juga disinyalir dilakukan oleh Manchester United yang memakai cara yang mirip dalam mendekati pemain muda Le Havre bernama Paul Pogba.
Hal itulah yang mendatangkan keprihatinan sekaligus kecaman dari Presiden Federasi Sepakbola Prancis (FFF) Jean-Pierre Escalettes. Prancis memang jadi lahan subur untuk menyemai pemain muda berbakat.
"Kami telah mendiskusikan kasus Kakuta dan transfer-transfer bocah-bocah itu. Itu merusak sepakbola," ujar Escalettes sebagaimana dikutip Reuters pasca pemberian sanksi pada Chelsea.
Prancis adalah pihak yang kerap menjadi korban. Selain punya ratusan atau bahkan ribuan bocah berbakat, Prancis juga sering menjadi akademi bagi para pemain muda dari Afrika mengingat status mereka sebagai sebuah negara yang terbuka terhadap imigran.
"Kami telah memperingatkan FIFA dan Federasi Sepakbola yang relevan (dalam hal ini adalah Inggris--red) untuk menangani perilaku keliru seperti itu," kata Escalettes.
"Ini seperti Qatar yang mengirim Direktur Olahraganya ke Paris untuk merekrut para pemain muda itu. Kami sangat senang melihat perilaku salah seperti itu diberikan sanksi," jelas Escalettes.
Kasus yang menimpa Chelsea bisa jadi pelajaran untuk para klub Eropa ke depan. Memburu pemain muda berbakat jelas tidak salah, tetapi ketaatan terhadap aturan dan etika jelas harus ditegakkan agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Sumber : detiksport
No comments:
Post a Comment